Mendalami Tafsir Spiritual Lontar Jumrah, Catatan Perjalanan Haji Langsung Dari Mekah Oleh H Maman Abdurahman

Alhamdulillah Al Fakir, Tanggal 12 Dzulhijjah 1445 H/18 Juni 2024 waktu Makkah, telah menyelesaikan lontar jumroh hari ketiga. Program Haji Indonesia mengambil nafar awal dan kembali ke Harom untuk Thawaf ifadoh Sa’i dan tahalul Tsani. Setelah lontar jumroh dan mabit di Mina, makna yang penting untuk didalami adalah beberapa pertanyaan mendasar tentang Jamarot:

 

Pertama, apa makna spiritual lontar Jumroh? kedua, mengapa harus tiga Jumroh (ula, wustho dan aqobah)?
ketiga kenapa mesti tujuh lemparan? keempat kenapa mesti dengan kerikil?

 

Jawaban Syar’iyah untuk keempat pertanyaan tersebut adalah karena itu semua dicontohkan oleh Rosul Kita Muhammad SAW dan semua jamaah haji wajib mengikutinya, namun yang tak kalah penting adalah mendalami makna spritual dari rangkaian itu sebagai bahan pelajaran bagi para haji dan semua nuslim  di seluruh dunia dalam kehidupan sehari hari.

 

Melontar jumroh mengisahkan upaya yang sungguh sungguh Nabi Ibrahim mengusir syaitan yang mencoba menghalanginya untuk menjalankan perintah Alloh “menyembelih Ismail”. Hal itu memberikan makna perlawanan manusia terhadap nafsu dan godaan-godaan syaitan, “sesungguhnya nafsu itu selalu menggerakan manusia pada perbuatan-perbuatan buruk” (QS Yusuf:53).

 

Tiga Jumroh (Menurut Mustofa Adil Hakim dalam bukunya Kisah Bapak Anak dalam Al-Qur’an) Syaitan itu akan menyesatkan manusia dari segala penjuru, dengan siasat tipu daya dan dengan berbagai cara, bahkan dalam sebuah hadist disebutkan bahwa syaitan bisa menyusup pada manusia melalui aliran darah (Hadits Bukhari). Jumroh ula mengasosiasikan perlawanan Nabi Ibrahim mengusir syaitan,  jumroh Wustho mengkiaskan perlawanan Siti Hajar terhadap godaan syaitan ketika syaitan tidak mampu menggoda Nabi Ibrahim dan Jumroh Aqobah menggambarkan perlawanan Nabi Ismail terhadap syaitan yang menggodanya karena tidak berhasil menggoda Nabi Ibrahim dan Siti Hajar.

 

Tujuh lontaran (tujuh butir) memberikan gambaran bahwa melawan hawa nafsu dan godaan syaitan itu harus dilakukan secara ijtihad (sungguh sungguh) dan terus menerus “Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Fatir:5)

 

Kerikil sebagai alat untuk mengusir syaitan adalah kerikil-kerikil itu yang terdapat di daerah Gunung Tsubair (Tsabir) di Wilayah Mina, tempat Nabi Ibrahim akan melaksanakan perintah Alloh untuk menyembelih Nabi Ismail.

 

(Al-Fakir, Makkah 12 Dzulhijhah 1445 H/18 Juni 2024)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *