Seorang muslim memiliki kewajiban mengikuti aturan-aturan syariat yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Namun, mayoritas umat Islam adalah orang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk menggali hukum secara langsung dari kedua sumber tersebut karena di dalamnya tidak disebutkan seluruh permasalahan agama secara detail.
Lalu bagaimana caranya mengikuti aturan syariat? tentu dengan bertanya pada ahlinya. Dalam surah An-Nahl ayat 43 disebutkan: فَسْئَلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
Pada saat Rasulullah saw masih hidup, seluruh pertanyaan seputar agama ditangani secara langsung oleh beliau. Sepeninggal beliau, tugas ini diemban oleh para murid utamanya, para sahabat yang alim, tugas ini kemudian diemban dari generasi ke generasi oleh orang-orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi. Tugas menjawab pertanyaan dan kemusykilan seputar agama yang sudah mentradisi ini disebut dengan fatwa.
Secara bahasa, fatwa artinya adalah menjawab atau menjelaskan. Sedangkan dalam ilmu syariat, Syekh Ali Al-Jurjani dalam kitab At-Ta’rifat menjelaskan bahwa fatwa adalah penjelasan atas suatu permasalahan hukum. Baca Juga Mufti, Mustafti, dan Adab-adab dalam Berfatwa الإفتاء: بيان حكم المسألة Artinya, “Fatwa adalah menjelaskan hukum suatu permasalahan” (Ali bin Muhammad Al-Jurjani, At-Ta’rifat [Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 1983], halaman 32).
Sementara itu, Syekh Syihabuddin Al-Qarafi mendefinisikan fatwa sebagai ikhbar atas hukum Allah. إخبارٌ عن حكم الله تعالى Artinya, “Fatwa adalah memberitahu hukum Allah ta’ala”. (Syihabuddin Ahmad Al-Qarafi, Al-Furuq [Riyadh: Alamul Kutub, tt], juz IV, halaman 53). Belakangan ini beredar suatu opini yang mengatakan bahwa fatwa tidak harus diikuti. Opini tersebut memang ada benarnya, namun rawan disalahpahami masyarakat awam. Munculnya opini tersebut berdasarkan pada ketentuan dalam ilmu fiqih bahwa fatwa bukanlah sesuatu yang mengikat. Al-Hashkafi, seorang pakar fikih Hanafi abad XI Hijriyah mengatakan: وَحَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ الشَّيْخُ قَاسِمٌ فِي تَصْحِيحِهِ: أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمُفْتِي وَالْقَاضِي إلَّا أَنَّ الْمُفْتِيَ مُخْبِرٌعَنْ الْحُكْمِ وَالْقَاضِيَ مُلْزِمٌ بِه Artinya, “Kesimpulan dari apa yang disampaikan Syekh Qasim Ibn Quthlubugha dalam kitabnya yang berjudul Tashhih adalah tidak ada perbedaan antara mufti (pemberi fatwa) dan qadhi (hakim) dalam hal keduanya tidak boleh memberi hukum berdasarkan hawa nafsu dan menggunakan pendapat yang lemah (qaul marjuh), hanya saja status mufti adalah pemberi informasi hukum, sedangkan qadhi adalah orang yang menetapkan hukum”. (‘Alauddin Al-Hashkafi, Ad-Durrul Mukhtar ma’a Hasyiyah Ibn ‘Abidin [Mesir: Maktabah Mushthafa Hallabi wa Auladihi, 1966], juz I, halaman 74).
Pernyataan Al-Hashkafi di atas mengetengahkan salah satu perbedaan antara mufti dan qadhi atau hakim dalam produk yang dikeluarkan keduanya. Fatwa, sebagai produk yang dikeluarkan mufti hanyalah sebuah informasi tentang hukum suatu permasalahan, sedangkan hukum yang ditetapkan oleh qadhi atau hakim adalah putusan yang harus diikuti oleh rakyat atau dua pihak yang berseteru (penggugat dan tergugat).
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan power antara mufti dan qadhi atau hakim adalah dalam konteks bernegara, ketetapan qadhi selaku kepanjangan tangan dari pemimpin negara wajib ditaati. Namun, dalam konteks menjalankan syariat, fatwa seorang mufti juga wajib diikuti, karena orang awam wajib mengikuti pendapat ulama dalam hal yang tidak dia ketahui hukumnya sebagaimana telah dijabarkan di atas.
Lalu, di mana sisi kebenaran opini yang beredar bahwa fatwa tidak harus diikuti? Maksud dari pernyataan tersebut adalah fatwa seorang ulama tertentu tidak wajib diikuti, namun hal ini berlaku jika ada banyak fatwa dari beberapa ulama. Ada yang memberi fatwa haram, ada yang memfatwakan boleh. Dalam kondisi demikian, seseorang boleh memilih fatwa manapun yang ingin dia ikuti, dengan syarat pilihan tersebut tidak berdasarkan hawa nafsu. An-Nawawi, seorang pakar hadits dan fikih Syafi’i abad VII pernah ditanya mengenai hal ini: مسألة هل يجوز لمن تمذهب بمذهب أن يقلد مذهبا آخر فيما يكون به النفع ويتتبع الرخص؟ أجاب رضي الله عنه لا يجوز تتبع الرخص Artinya: “Pertanyaan: Bolehkan seseorang yang mengikuti madzhab tertentu berpindah madzhab dalam hal yang bermanfaat baginya dan tatabbu’ur rukhash (selalu mengambil pendapat-pendapat yang ringan dari berbagai madzhab)? An-Nawawi menjawab: tatabbu’ur rukhash hukumnya tidak boleh” (Abu Zakariyya An-Nawawi, Fatawan Nawawi [Beirut: Darul Basya’iril Islamiyyah, 1996], halaman 235).
Jawaban An-Nawawi di atas secara tidak langsung mengatakan bahwa berpindah mazhab boleh-boleh saja, artinya seseorang bebas mengikuti pendapat ulama manapun, yang dilarang adalah dengan sengaja memilah-milah pendapat para ulama kemudian mengambil yang ringan-ringan saja.
Kesimpulan Dalam kondisi beragamnya fatwa dari para ulama, seseorang boleh memilih fatwa mana yang ia ikuti. Namun jika dia hanya mengetahui satu fatwa, maka wajib mengikuti fatwa tersebut sebagai bentuk mengikuti aturan syariat.
Ustadz Rif’an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Gebang Purworejo.Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah