Apa Hukum Menikah dengan Saudara Sepupu dalam Islam? Ini Penjelasannya

FPPU – Melansir laman muhammadiyah.or.id, Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Syamsul Hidayat menerangkan fatwa Tarjih tentang hukum menikahsaudara sepupu. Menurutnya, tidak ditemukan nash-nash baik dalam Alquran maupun as-Sunnah yang sahih lagi maqbul yang melarang pernikahan antar saudara sepupu.

 

 

“Jadi artinya dalam fatwa tarjih tentang menikahsaudara sepupu itu dibolehkan karena tidak terdapat larangannya di Al-Quran maupun As-Sunah al-Maqbulah,” tutur Syamsul Hidayat dikutip Tribunnews.com dari muhammadiyah.or.id, Selasa (23/4/2024).

 

 

Syamsul menerangkan bahwa terdapat ayat-ayat Alquran dan as-Sunnah yang shahih lagi maqbul yang menerangkan perempuan-peremupuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki (mahram) atau sebaliknya, yakni dalam QS. An-Nisa ayat 3, 22, 23, dan 24, QS. Al-Baqarah ayat 228, 230, 234, dan 235, dan QS. An-Nur ayat 3.

 

 

Dia kemudian mengutip QS. An-Nisa ayat 22-24 karena dirasa lebih relevan dengan persoalan yang sedang dibicarakan. Menurutnya, jika hubungan mahram yang disebutkan pada ayat-ayat di atas disusun secara sistematis, maka hubungan mahram itu dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mahram yang termasuk tahrim mu’abbad dan mahram yang termasuk tahrim muaqqat.

 

 

Tahrim mu’abbad ialah halangan perkawinan untuk selamanya karena adanya hubungan keturunan (lin-nasab) seperti menikahi orang tua kandung sendiri, karena susuan (lir-radha’ah) seperti menikahsaudara sepersusuan, dan karena perkawinan (lil-mushaharah) seperti menikahi janda dari anak kandung sendiri atau menikahi anak tiri dari istri yang telah dicampuri.

 

 

Sementara tahrim muaqqat ialah halangan perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam waktu-waktu tertentu saja. Bila keadaan yang menghalangi pernikahan antara keduanya hilang, pada saat itu mereka boleh melakukan pernikahan, misalnya, harus menunggu perempuan-perempuan yang masih dalam masa iddah, jika iddah-nya telah selesai, maka boleh untuk dinikahi.

 

“Seperti seorang laki-laki dengan istri orang lain. Selama perempuan itu terikat dengan suaminya (tidak bercerai), maka selama itu pula perempuan itu tidak boleh dinikhai oleh laki-laki lain. Jika mereka telah bercerai dan habis iddah-nya, perempuan itu boleh kawin dengan laki-laki lain,” ujarnya.

Sumber Tribunews.Com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *