Sunat Perempuan dalam Islam, Perdebatan yang Tak Kunjung Usai

FPPU – Sejak lama, praktik sunat perempuan kerap diidentikkan dengan agama Islam. Di Indonesia, sejumlah masyarakat meyakini, jika anak perempuan tidak disunat, maka dinilai belum sempurna. Keyakinan ini dianut oleh masyarakat di berbagai daerah. Sebut saja di Bone, Sulawesi Selatan dan Madura, Jawa Timur. Tanpa sunat, ‘ke-Islam-an’ seorang anak perempuan seolah tidak sahih.

 

Bukan cuma memantapkan keyakinan agama, sunat pada perempuan juga dilakukan untuk menekan nafsu seksual. Dengan sunat, diharapkan seorang perempuan akan lebih setia pada suami kelak ketika berusia dewasa. Dengan kata lain, sunat mencegah perempuan dari sikap binal yang dianggap amoral.

 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri sebenarnya tak melarang praktik sunat perempuan dengan tegas. Fatwa MUI yang ditetapkan pada 2008 lalu menyebutkan bahwa sunat bagi perempuan sama dengan khitan yang berlaku pada laki-laki. Sunat dianggap fitrah dan syiar Islam.

 

Menurut MUI, sunat bagi perempuan adalah makrumah (memuliakan). Pelaksanaan sunat perempuan menjadi bentuk ibadah yang dianjurkan. Disebutkan juga dalam fatwa, pelarangan sunat perempuan justru bertentangan dengan ketentuan syariah. “Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syariah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam,” bunyi Fatwa Nomor 9A tahun 2008 yang ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI saat itu, Anwar Ibrahim.

 

Meski tidak melarang, MUI, dalam fatwa tersebut, menyebutkan bahwa ada batasan yang harus dilakukan saat melakukan sunat terhadap perempuan. Sunat hanya boleh dilakukan untuk menghilangkan selaput (jaldah/colum/preputium) yang menutupi klitoris.

 

Sunat juga tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Misalnya, sampai melukai atau bahkan memotong klitoris yang justru membahayakan perempuan. Namun Kementerian Kesehatan melalui Surat Edaran Menteri Kesehatan Tahun 2006 justru melarang praktik sunat perempuan dilakukan oleh tenaga profesional. Namun, aturan ini terus berubah seiring waktu berjalan.

 

Perdebatan sunat perempuan dalam Islam
Sebenarnya, hingga saat ini sunat terhadap perempuan masih jadi perdebatan di kalangan ulama. Perdebatan ini muncul lantaran sumber-sumber Islam otoritatif, baik Al-Qur’an maupun hadis, tidak menyebutkan hukum sunat perempuan secara eksplisit dan tegas.

 

Sejauh ini, aturan yang keluar hanya berdasar pada interpretasi sesuai dengan pengetahuan dan perspektif masing-masing. Ulama yang kerap membahas isu kesetaraan gender, Husein Muhammad, yang biasa disapa Buya Husein mengatakan bahwa perdebatan yang selama ini terjadi antara ahli fikih pun hanya terbatas pada teks, bukan analisis medis yang justru sangat penting dalam urusan organ reproduksi wanita.

 

“Padahal, penelitian empiris dan analisis medis dalam kasus yang menyangkut organ reproduksi ini menjadi sangat menentukan untuk mendasari suatu kebijakan dan keputusan hukumnya,” kata Buya Husein saat menyampaikan perspektifnya terkait sunat perempuan, beberapa waktu lalu.

 

Menurut Buya Husein, ahli fikih besar, Imam Al Syafi’i juga telah melakukan metode penelitian empiris terkait sunat perempuan dan aturan lain yang berhubungan dengan alat reproduksi wanita. Metode penelitian itu dikenal dengan istilah istiqra.

 

Tapi, penelitian ini kemudian dipinggirkan dan tidak digunakan. Alasannya, sunat baik untuk laki-laki maupun perempuan, merupakan tradisi kuno yang telah berlangsung sejak lama. Khitan adalah sunah qadimah atau tradisi kuno. Artinya, Islam tidak menginisiasi praktik khitan atau sunat.

 

Islam memang kerap mengakomodasi tradisi yang telah eksis sebelumnya. Namun, lanjut Buya Husein, dalam waktu yang sama, Islam juga mengajukan kritik, koreksi, dan transformasi ke arah yang lebih baik. “Terutama, jika praktik-praktiknya belum sejalan dengan misi dan visi Islam, yakni kemaslahatan dan kerahmatan semesta,” kata dia.

 

Khitan atau sunat sendiri berarti ‘memotong’. Dalam Islam, sunat berarti memotong kulit kulup kepala penis pada laki-laki dan memotong daging bagian ujung klitoris perempuan.
Buya Husein menyebut bahwa sunat pada perempuan memiliki istilahnya sendiri, yakni dikenal dengan sebutan khafdh atau khifadh. Khifadh merupakan kata asli untuk sunat perempuan dalam Islam.

 

Menurut Buya Husein, penamaan ini menjadi hal yang perlu disorot. Sebab, khifadh justru memperlihatkan makna yang berbeda dari apa yang sering dikesankan atau dibayangkan banyak orang tentang sunat (pemotongan).

 

Dalam hal sunat, secara harfiah ‘khifadh’ berarti mengurangi, menyederhanakan, atau mengambil sedikit.
“Dalam hal ini, mungkin lebih tepat diterjemahkan menggoreskan atau menorehkan. Pemaknaan ini tentu jauh dari apa yang disebut memotong atau menggunting,” kata dia.

 

Bukan cuma itu, menurut Buya Husein, ahli fikih, Syeikh Al Qardhawi mengatakan bahwa sunat perempuan tidak wajib dilakukan.

فأما الختان فواجب على الرجال و مكرمة في حق النساء ، و ليس بواجب عليهن ، هذا قول كثير من أهل العلم .

Artinya:
“Khitan adalah wajib bagi laki-laki dan kehormatan bagi perempuan, tidak wajib. Ini pendapat mayoritas ulama,”.
“Pandangan Syeikh al Qardhawi ini semakin menjelaskan, khitan perempuan bukanlah bagian dari keputusan agama, melainkan keputusan tradisi, adat istiadat, atau budaya,” kata Buya Husein.

 

Sunat perempuan disebut tak bisa serta merta disandingkan dengan agama Islam. (iStockphoto)
Akademisi sekaligus anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Nur Rofiah juga menyebut sunat pada perempuan tidak bisa serta merta disandingkan dengan agama Islam. “Saya rasa tidak benar kalau terus dipaksakan dengan dalih agama Islam,” kata Nur saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

 

Nur memastikan, Al-Qur’an, sebagai sumber utama Islam, juga sama sekali tidak menyebutkan isu sunat, terutama yang harus dilakukan perempuan. “Tidak ada hadis masyhur tentang khitan perempuan yang menunjukkan bahwa praktik ini [sunat perempuan] syariat. Seandainya khitan perempuan itu syariat, pasti akan dipraktikkan oleh seluruh keluarga Muslim di masa Nabi Muhammad,” jelas Nur.

 

Tradisi khitan memang dilakukan di masa Nabi Ibrahim. Tapi, tak ada anjuran secara eksplisit bahwa itu juga dilakukan oleh perempuan. Staf pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini juga berpendapat, anggapan soal sunat perempuan yang dilakukan untuk menekan hawa nafsu terlalu memberikan kesan negatif.

 

Jika sunat hanya dilakukan dengan alasan di atas, maka menurut Nur sama saja dengan menganggap perempuan sebagai makhluk yang berpotensi mengumbar nafsu seksual. Pandangan ini, lanjutnya, jelas-jelas telah merendahkan martabat dan kehormatan perempuan.

 

“Sesungguhnya tidak ada bukti bahwa perempuan tanpa khitan selalu memperlihatkan keliaran dan kebinalan. Sebagaimana juga perempuan yang dikhitan, tidak liar atau binal. Tidak ada relevansi moral antara sunat dengan keliaran perempuan,” kata dia.

Sumber CNN Indonesia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *