Jelang Pilkada, BRIN Hadirkan Literasi Politik Hoaks dan Hoaks Politik

FPPU  Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) serentak akan digelar pada 27 November 2024. Pilkada serentak telah dilaksanakan secara parsial pada 2015, 2018, dan 2020 ketika pandemi Covid-19. Sebelum dilaksanakan secara serentak, pilkada hampir berlangsung setiap pekan di daerah atau wilayah yang berbeda-beda, baik di provinsi, maupun kabupaten dan kota (Yuniarto, 2020).

Namun, pilkada 2024 akan menjadi yang terbesar dalam sejarah karena dilakukan serentak dalam satu waktu di hampir seluruh wilayah Indonesia. Total daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak tahun 2024 sebanyak 545 daerah dengan perincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. “Ini adalah pemilihan umum terbesar di muka bumi dalam sejarah,” jelas Suhajar Diantoro, Tenaga Ahli Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yang dilansir dari Kompas.com (5/6/2024).
Pilkada bukan hanya sarana untuk memilih pemimpin pemerintahan di tingkat daerah, namun juga menjadi ajang kompetisi partai politik dalam menancapkan pengaruh di daerah (Sugiyanto dkk., 2013). Kompetisi di antara para kandidat dan partai politik dalam pemilu sangat ketat, karena setiap pihak berusaha keras untuk memenangkan suara pemilih.
Strategi kampanye menjadi faktor kunci yang menentukan keberhasilan kandidat dalam persaingan ini. Namun, sayangnya, tidak semua strategi yang digunakan etis atau berdasarkan fakta. Dalam beberapa kasus, hoaks dan disinformasi disinyalir muncul sebagai bagian dari strategi skampanye untuk mempengaruhi jalannya proses pemilihan secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Žiga Turk, seorang Professor di University of Ljubljana, Slovenia, mengatakan bahwa disinformasi hanyalah salah satu alat dari serangkaian operasi pengaruh yang bertujuan memanipulasi kepercayaan publik terhadap kebenaran. Turk juga menegaskan bahwa hoaks atau disinformasi sebagai senjata politik bukanlah fenomena baru, namun kehadirannya semakin menonjol di era digital.
“Penggunaan disinformasi dalam politik sudah berlangsung lama dan kemungkinan akan terus berlanjut di masa depan, terutama karena peran internet yang telah mengubah dinamika sosial,” jelas Turk dalam artikelnya yang berjudul ‘Disinformation as a Political Weapon’ yang terbit pada prosiding New Horizons Symposium, 2018.

Potensi Disinformasi dan Hoaks Menjelang Pilkada

Bercermin dari pemilu ataupun pilkada sebelumnya, sering kali diwarnai dengan penyebaran hoaks untuk menjatuhkan lawan politik. Hoaks diproduksi untuk menyasar kandidat tertentu dengan informasi menyesatkan atau fitnah yang bertujuan merusak reputasi mereka di mata pemilih. Contoh nyata di Indonesia adalah saat Pemilihan Presiden 2014 dan 2019, serta Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Hoaks yang tersebar selama kampanye tersebut mencakup isu-isu sensitif, seperti agama, etnis, dan integritas pribadi para kandidat. Isu-isu ini tidak hanya memengaruhi hasil pemilihan, tetapi juga memperdalam polarisasi di masyarakat yang sampai sekarang masih dirasakan dampaknya.
Ditinjau dari berbagai media, sejumlah negara juga telah mengalami lonjakan penyebaran hoaks politik menjelang pemilihan umum atau peristiwa politik penting lainnya. Belajar dari pengalaman, Indonesia dirasa belum kebal terhadap fenomena tersebut. Menjelang pilkada 2024, Indonesia berpotensi menghadapi disinformasi dengan dampak yang lebih luas, seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial dan perkembangan platform digital yang semakin mempersulit pengendalian informasi.
Dengan kata lain, era digital telah mengubah lanskap komunikasi dan media informasi secara signifikan. Dalam sistem media konvensional, berita dibuat, diperiksa, dan diperkuat kualitasnya melalui meja redaksi oleh editor sebelum dipublikasikan. Redaksi melakukan kontrol atas kualitas berita, meskipun terkadang dipengaruhi oleh aspirasi politik atau afiliasi partai politik.
Namun, era digital telah membuka ruang bagi siapa saja, termasuk orang biasa untuk membuat, mempublikasikan, dan menyebarkan informasi tanpa proses kurasi atau penyuntingan yang ketat. Akibatnya, kontrol atas arus informasi menjadi kabur, menciptakan kekacauan karena tidak ada lagi penjaga gerbang (gate keeper) yang menjamin kualitas berita.
Meskipun bersifat lokal, dinamika politik pilkada berpotensi menimbulkan gejolak sosial akibat penyebaran hoaks atau informasi palsu yang sengaja disebarluaskan untuk mempengaruhi persepsi publik. Oleh karena itu, pentingnya literasi digital, regulasi efektif, dan etika kampanye untuk menjaga integritas pemilihan dan memastikan pemilih membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat.
Sehubungan dengan itu, BRIN telah melakukan serangkaian penelitian yang terkait dengan pemilihan umum, baik itu pemilihan presiden, legislatif, maupun kepala daerah. Salah satu hasil penelitian yang dimaksud telah diterbitkan dalam bentuk publikasi buku yang berjudul Politik Hoaks dan Hoaks Politik di Indonesia.
Tangkapan Layar Website Penerbit BRIN

zoom-in-whitePerbesar
Tangkapan Layar Website Penerbit BRIN

Literasi Politik Hoaks dan Hoaks Politik

Buku Politik Hoaks dan Hoaks Politik di Indonesia merupakan salah satu karya Ubaidillah, seorang peneliti muda dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit BRIN pada Maret 2024, yang memuat hasil kajian mendalam mengenai fenomena hoaks, khususnya dalam konteks politik di Indonesia. Buku ini dapat menjadi salah satu referensi yang relevan untuk memahami persoalan dan dinamika disinformasi di era digital.
Melalui buku ini, Ubaidillah mengeksplorasi secara mendalam bagaimana hoaks menjadi alat yang digunakan oleh aktor politik untuk mencapai tujuan mereka, terutama pada masa-masa kampaye pemilihan umum. Selain bermanfaat untuk pemilih dan penyelenggara pilkada agar lebih waspada terhadap informasi yang menyesatkan, buku ini juga bermanfaat sebagai panduan bagi para kandidat agar tidak terjebak dalam praktik politik tidak etis seperti disinformasi.
“Penulisan buku ini berawal dari keresahan terhadap maraknya peredaran hoaks menjelang Pemilu 2019, yang mengguncang stabilitas sosial dan politik di negeri ini,” jelas Ubaidillah dalam diskusi dan bedah buku ini pada rangkaian acara InaRI Expo 2024, Kamis (8/8), di Cibinong.
Ubaidillah dalam acara diskusi dan bedah buku di InaRI Expo 2024.

zoom-in-whitePerbesar
Ubaidillah dalam acara diskusi dan bedah buku di InaRI Expo 2024.
Ketidakpuasannya terhadap minimnya ketersediaan literatur dalam bahasa Indonesia yang membahas secara mendalam hubungan antara hoaks dan kekuasaan di platform literatur akademik, juga pendorong lahirnya buku ini. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya selama tiga tahun, buku ini tidak hanya menjelaskan bagaimana hoaks diproduksi dan disebarluaskan, tetapi juga mengupas strategi disinformasi yang digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Wacana yang ditawarkan buku ini kiranya hadir tepat waktu untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana hoaks digunakan sebagai alat politik di Indonesia. Dalam konteks pilkada, penyebaran hoaks dan disinformasi sering kali meningkat sebagai strategi politik untuk menjatuhkan lawan atau mengamplifikasi dukungan. Buku ini mengupas tuntas bagaimana hoaks digunakan sebagai senjata politik untuk mempengaruhi opini publik, mengaburkan fakta, dan memanipulasi persepsi pemilih.
Menurut Wasisto Raharjo Jati, peneliti politik dari BRIN, buku Politik Hoaks dan Hoaks Politik di Indonesia mengisi kekosongan dalam studi demokrasi digital di Indonesia. “Selama ini, demokrasi digital sering dianggap sebagai pilar kelima demokrasi, dengan media sosial sebagai penguatnya. Namun, buku ini berhasil menunjukkan sisi gelap demokrasi digital, termasuk peran negara sebagai penyebar hoaks,” jelas Wasisto dalam diskusi buku ini di acara InaRI Expo 2024, Kamis (8/8), di Cibinong.

Cek Fakta, Menjaga Integritas Informasi dan Stabilitas Sosial di Era Digital

Untuk mengatasi tantangan hoaks dan disinformasi menjelang pilkada, peran aktif berbagai pihak sangat diperlukan, baik dari pemerintah, media, maupun masyarakat sipil. Menurut Ubaidillah, sejumlah inisiatif telah dilakukan, seperti pembentukan platform cek fakta oleh Mafindo dan konsorsium media daring, yang bertujuan untuk memverifikasi informasi yang beredar di masyarakat.
“Meskipun demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya cek fakta dan memperkuat infrastruktur untuk memfasilitasi proses verifikasi informasi secara lebih luas dan cepat,” jelas Ubaidillah dalam paparannya di kegiatan bedah buku.
Wasisto Raharjo Jati dalam acara diskusi dan bedah buku di InaRI Expo 2024.

zoom-in-whitePerbesar
Wasisto Raharjo Jati dalam acara diskusi dan bedah buku di InaRI Expo 2024.
Sementara itu, Wasisto mengungkapkan pentingnya dialog antara generasi dan edukasi publik dalam menghadapi tantangan hoaks dan disinformasi. “Perlu adanya dialog di rumah dalam keluarga soal informasi yang disampaikan melalui WhatsApp Group,” jelasnya.
Menurutnya, dialog ini tidak hanya penting untuk menyaring informasi yang masuk, tetapi juga untuk mendidik anggota keluarga yang lebih tua mengenai bahaya penyebaran hoaks dan pentingnya memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Tate Ryan-Mosleyarchive (2020) dalam artikelnya yang berjudul “It’s been really, really bad”: How Hispanic voters are being targeted by disinformation. Menurutnya, para peneliti percaya bahwa layanan WhatsApp dan Facebook merupakan inkubator disinformasi yang menyebar secara organik dalam kelompok-kelompok pribadi yang terdiri dari keluarga dan teman-teman yang tepercaya. Dengan kata lain, platform WhatsApp sering menjadi inkubator disinformasi oleh pihak-pihak yang ingin menggiring opini publik.
Wasisto juga menyoroti pentingnya ekosistem informasi publik yang selama ini digembar-gemborkan sebagai solusi untuk memerangi hoaks melalui literasi digital. Namun, ia memperingatkan bahwa negara juga berperan dalam menciptakan dan menyebarkan hoaks, dan oleh karena itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam menerima informasi, baik dari negara maupun dari media massa.

Dari kedua pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa hoaks telah menjadi alat politik yang kompleks di Indonesia. Negara dan media massa memainkan peran kunci dalam menentukan informasi mana yang dianggap benar atau salah. Situasi ini menuntut masyarakat untuk lebih kritis dan waspada dalam menerima informasi, serta memahami bahwa kebenaran seringkali menjadi subjek manipulasi politik.
Dalam konteks ini, tantangan terbesar adalah bagaimana masyarakat dapat memilah dan memahami informasi yang benar di tengah-tengah derasnya arus informasi yang seringkali bercampur antara fakta dan fiksi. Literasi digital, meskipun penting, tidak cukup untuk melawan hoaks jika tidak disertai dengan kesadaran kritis terhadap dinamika politik dan kekuasaan yang mengendalikan informasi.
Oleh karena itu, buku Politik Hoaks dan Hoaks Politik di Indonesia menjadi relevan sebagai bacaan wajib bagi siapa pun yang ingin memahami dinamika politik di Indonesia, terutama dalam konteks menjelang pemilihan umum seperti Pilkada. Buku ini tidak hanya memberikan analisis yang tajam, tetapi juga menantang kita untuk berpikir lebih kritis tentang peran media dan informasi dalam demokrasi. Ubaidillah berhasil menunjukkan bahwa hoaks bukan hanya fenomena sesaat, tetapi bagian dari strategi politik yang lebih besar yang harus dihadapi dengan pendekatan yang lebih komprehensif.
Sebagai informasi, buku ini diterbitkan secara akses terbuka (open access) yang tersedia gratis melalui DOI: https://doi.org/10.55981/brin.790
Sumber Kumparan.Com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *