FPPU – Puluhan ulama di Tanoh Rencong sepakat mendirikan Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh, 16-18 Desember 1965. Kafir dan haram Komunis adalah fatwa pertama lembaga yang kelak menjadi model kelahiran Majelis Ulama Indonesia ini.
Bulan-bulan akhir 1965. Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa berpesan ke para ulama Aceh agar menggelar musyawarah. Saran dari Panglima Daerah Pertahanan “A” selaku Penguasa Pelaksanaan Dwikora Daerah untuk Daerah Istimewa Aceh itu menyusul peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965 yang dituding didalangi oleh PKI.
Pertemuan ulama kala itu dianggap penting bagi Ishak karena kelak pandangannya menjadi landasan untuk menumpas anggota PKI di Aceh. Isu bahwa penculikan para jenderal didalangi PKI baru diterima di Aceh pada 2 Oktober 1965.
Menurut Rusdi Sufi dalam buku ‘Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional’ (2012-hal 15), Ishak Djuarsa segera membekukan dan menghentikan semua kegiatan PKI Aceh dan organisasi yang disebut onderbouw-nya begitu mendapat kabar itu. Dalam rapat bersama sejumlah pejabat Aceh pada 3 Oktober, Ishak Djuarsa menyerahkan peristiwa itu ke rakyat: mempertahankan Pancasila atau memihak PKI.
Dua hari berselang atau 5 Oktober, demonstrasi meletus di Banda Aceh dan daerah lain di Aceh. Massa terdiri dari mahasiswa dan anggota ormas menuntut pembubaran PKI. Kantor PKI dirusak. Rusdi Sufi menulis, malam itu terjadi penculikan dan pembunuhan anggota PKI Aceh dan organisasi yang disebut onderbouw-nya. Rumah-rumah mereka dibakar.
Beberapa pekan setelah peristiwa 30 September, ulama Aceh tampaknya mendengar saran Ishak Djuarsa. Ali Hasjmy dalam buku Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan & Perjuangan Kemerdekaan (1985-hal 706) menulis, ulama Aceh membentuk panitia pelaksana musyawarah: Ketua Umum Teungku Abdullah Ujong Rimba dan Wakil Ketua I, II dan III: Ismuha, Teuku Usman Yacob dan M. Yasin, serta Sekretaris Umum Teungku Razali Amin.
Musyawarah ulama Aceh ini digelar di Banda Aceh pada 16-18 Desember 1965. Pertemuan dihadiri 56 ulama yang datang dari seluruh Aceh. Ada dua keputusan yang diambil dalam kesempatan itu: fatwa tentang PKI dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh.
Fatwa Komunis Kafir dan Haram
Dalam musyawarah tersebut, ulama Aceh memfatwakan tentang komunisme. Setidaknya ada delapan poin keputusan, antara lain bahwa komunisme adalah kufur hukumnya dan haram dianut oleh umat Islam, pelaku/dalang G30S adalah kafir harbi yang wajib ditumpas habis, pembubaran PKI dan larangan penyebaran atheisme dalam bentuk apa pun adalah wajib dilakukan, dan orang yang meninggal dalam menumpas G30S adalah syahid.
Ali Hasjmy menulis bahwa keputusan ulama Aceh itu adalah fatwa ulama pertama kali yang mengharamkan ajaran komunisme setelah peristiwa 30 September. Selain mengeluarkan fatwa, ulama Aceh juga minta pembubaran PKI dan organisasi-organisasi yang disebut onderbouw-nya dan ditetapkan sebagai partai terlarang. Semua keputusan dalam musyawarah ulama Aceh itu ditandatangani Ketua Presidium Teungku Abdullah Ujong Rimba dan anggota musyawarah.
Fatwa ulama Aceh ini jadi pijakan bagi Ishak Djuarsa melarang PKI dan organisasi yang disebut onderbouw-nya di Daerah Istimewa Aceh. Ishak mengumumkan fatwa ulama itu dalam Rapat Akbar yang berlangsung pada 19 Desember 1965 di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Dalam pidato sebelum mengumumkan keputusan itu, Ishak Djuarsa memberi penghargaan tinggi kepada ulama Aceh, yang dalam musyawarahnya telah mengeluarkan fatwa-fatwa. Ia juga memuji rakyat Aceh dalam menumpas PKI di Aceh. Pelarangan PKI dan organisasi onderbouw-nya di Aceh berlaku sejak 19 Desember 1965.
Keputusan ulama Aceh tersebut mendahului Tap MPRS No. 25 Tahun 1966 yang baru dikeluarkan pada 5 Juli 1966, menjadi landasan hukum pelarangan PKI di Indonesia. Menurut Rusdi Sufi, diperkirakan setidaknya ada 2.000 orang Aceh menjadi korban pembunuhan karena dituding terlibat PKI dan organisasi yang disebut onderbouw-nya setelah peristiwa 30 September. Di antara korban yang dieksekusi ada beberapa yang tidak mengerti apa-apa tentang PKI.
“Mereka “dituduh” sebagai PKI karena diberi cangkul oleh sebuah organisasi (BTI) yang disebutkan sebagai “Barisan Tani Islam” dan mereka tidak pernah atau tanpa diadili terlebih dahulu,” tulis Rusdi Sufi. Adapun tempat eksekusi yang terkenal di sekitar Banda Aceh adalah Mon Benggali di daerah Indrapuri dan kawasan Ie Seum (air panas) Krueng Raya. Untuk daerah di Meulaboh (Aceh Barat) tempat yang cukup dikenal sebagai tempat eksekusi adalah Rantau Kepala Gajah, Kuala Trang.
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dan Cikal Bakal MUI
Selain mengeluarkan fatwa komunis, dalam musyawarah itu ulama Aceh juga membentuk sebuah lembaga yang diberi nama: Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh. Teungku Abdullah Ujong Rimba menjadi Ketua dan Wakil Ketua I, II, III, IV, V, dan VI: Teungku Hasan, Ismuha, Yahya Hasjimy, M. Yasin, Teungku Muhammad Saleh, dan Teungku Husin Itam.
Kemudian Sekretaris Soufyan Hamzah, Wakil Sekretaris I Razali Amin dan Wakil Sekretaris II M. Thaib Wajdy. Majelis juga mempunyai sejumlah komisi: fatwa, penelitian/perencanaan/organisasi, pendidikan/pengajaran/kebudayaan, dakwah/penerbitan, dan harta agama. Dalam musyawarah ulama Aceh kedua yang digelar pada 21-26 November 1967, diambil keputusan untuk mengubah nama Majelis Permusyawaratan Ulama menjadi Majelis Ulama.
Menurut Ali Hasjmy, Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh menjadi majelis ulama yang pertama lahir setelah Republik Indonesia berdiri. Selanjutnya baru terbentuk Majelis Ulama Jawa Barat dan Majelis Ulama Sumatera Barat. Majelis ulama di provinsi lain baru didirikan atas instruksi pemerintah pusat.
Sejak 1 Desember 1982, Majelis Ulama Aceh disesuaikan dengan Majelis Ulama Indonesia yang lahir pada 26 Juli 1975 di Jakarta. Sejak didirikan, jabatan Ketua Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh diemban Teungku Abdullah Ujong Rimba hingga akhir 1982. Ulama asal Pidie ini meninggal pada 11 September 1983.
Meski menjadi model cikal bakal lahir Majelis Ulama Indonesia, ulama Aceh pada akhirnya membubarkan Majelis Ulama Aceh dalam musyawarah pada 25-27 Juli 2001 di Banda Aceh. Ulama Aceh kala itu ingin memisahkan diri dari MUI. Mereka sepakat mengganti MUI Aceh dengan mendirikan kembali Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Pendirian MPU agar ulama Aceh tidak tunduk lagi kepada MUI di Jakarta dan memiliki kewenangan yang lebih luas.
Sumber Kumparan.Com