FPPU – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masalah serius yang dapat menghancurkan kehidupan seseorang. Bagi istri yang sering mengalami KDRT, langkah pertama untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan adalah dengan mengajukan perceraian. Namun, banyak yang masih bingung tentang bagaimana hukum mengatur perceraian dalam konteks KDRT.
Menurut hukum Indonesia, KDRT merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum dalam Undang Undang positif, hal itu diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan hukuman pidana 5 tahun dan denda Rp15 juta. Lalu bagaimana Islam memandang KDRT dan apakah boleh istri menggugat cerai suami yang melakukan KDRT? Hukum Suami Melakukan KDRT dalam Islam Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Lampung, KH Munawir, menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suami terhadap istri, seperti menyakiti anggota badan dan mengancam tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam, adalah haram.
Menurut KH Munawir, tindakan semacam ini dalam Islam dikenal dengan istilah nusyuz, yang merupakan bentuk durhaka dan sangat dilarang. “Tindakan KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri dalam Islam dikenal dengan istilah nusyuz (durhaka). Nusyuz adalah salah satu perbuatan yang sangat dilarang dalam agama (haram),” kata KH. Munawir.
Hal ini menunjukkan bahwa KDRT merupakan pelanggaran serius dalam perspektif Islam dan harus mendapatkan perhatian khusus. KH Munawir juga menjelaskan bahwa masalah KDRT dapat diintervensi oleh pihak-pihak terdekat seperti kerabat, atau bahkan lembaga pemerintahan seperti Pengadilan Agama dan Komnas Perlindungan Anak. Pengadilan memiliki hak untuk menekan suami agar menunaikan kewajibannya, terutama dalam hal nafkah. “Nusyuz yang dilakukan suami harus dianalisa terlebih dahulu.
Kalau suami tidak menunaikan kewajibannya terhadap istri seperti nafkah, pemerintah dalam hal ini pengadilan berhak menekan suami untuk menunaikan kewajibannya,” katanya menjelaskan. Lebih jauh lagi, jika suami terus-menerus mengulangi perbuatan KDRT, negara memiliki kewajiban untuk menjatuhkan sanksi tegas sebagai bentuk perlindungan bagi korban. “Kalau suami mengulangi tindakan aniayanya, pemerintah wajib menjatuhkan sanksi untuknya,” kata KH Munawir.
Bolehkah Istri Menggugat Cerai Suami yang Sering KDRT? Dalam pandangan Islam, istri memiliki hak untuk menggugat cerai suaminya atau melakukan khulu’ jika mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Menurut ulama, jika KDRT sudah sampai pada tingkat membahayakan jiwa dan keselamatan, pengadilan dapat menjatuhkan talak tanpa perlu adanya gugatan dari istri. “Disebutkan di Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah bahwa disebabkan perilaku suami yang membahayakan istri, misalnya ada berita dari sejumlah sumber terpercaya bahwa suami melakukan kekerasan pada istri, maka hakim dapat menceraikan keduanya,” kata KH Munawir menjelaskan.
Ini menunjukkan bahwa Islam memberikan perlindungan terhadap istri yang menjadi korban KDRT dengan memberi wewenang kepada pengadilan untuk mengambil tindakan yang diperlukan demi keselamatan. Di sisi lain, Buya Yahya, ulama kharismatik asal Cirebon, menegaskan bahwa tindakan KDRT adalah perbuatan dzalim. “Memukul orang saja di pasar sudah dosa, apalagi memukul ibu daripada anak-anaknya, itu tidak masuk dalam hitungan perbuatan orang berakal,” kata Buya Yahya menegaskan.
Namun, Buya Yahya juga mengingatkan mengenai bahaya perceraian sebelum istri mengajukan gugatan cerai. “Istri berhak meminta cerai dari suami tapi ingat yang harus diperhatikan setelah Anda bercerai apakah Anda mampu tidak menjanda? karena setelah itu Anda tidak punya yang halal lagi, jangan sampai Anda terjatuh dalam perbuatan yang hina seperti perzinahan,” kata Buya Yahya. Pesan ini menggarisbawahi pentingnya pertimbangan matang sebelum memutuskan untuk bercerai, mengingat konsekuensi sosial dan moral yang mungkin dihadapi setelah perceraian. Secara keseluruhan, hukum khulu’ dalam Islam memberikan hak kepada istri untuk meminta cerai sebagai perlindungan dari KDRT, sementara juga mengingatkan akan tanggung jawab dan dampak jangka panjang dari keputusan tersebut.**
Sumber Pikiran Rakyat.Com